Daftar Isi (Sembunyikan)
NB : Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi
NB : Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi
- Memecah Mengutuhkan
- Doa Sehelai Daun Kering
- Dari Bentangan Langit
- Ketika Engkau Bersembahyang
- Kita Memasuki Pasar Riba
- Ikrar
- Kudekap Kusayang-Sayang
- Seribu Masjid Satu Jumlahnya
- Tahajjud Cintaku
- Sepenggal Puisi Caknun
- Ditanyakan Kepadanya
- Begitu Engkau Bersujud
- Antara Tiga Kota
- NOCTURNO
- Sajak Jatuh Cinta
- Lagu
- Sajak
- Apakah Puisi-puisi Ini
- Prambanan
- Didepan Patung Budha
- Aku Ini Termasuk Orang Yang Sukar Berbahagia
- Kosong
- Takut Pada Matamu
- Dari Bukit Kotamu
- Sajak Orang Tua Seribu
- Kabut
- Diatas Crete
- Pesawat Terbang
- Makan dan Minum 1
- Makan dan Minum 6
- Syair Maling
- Sesobek Buku Harian Indonesia
- Yogyaku
- Belajar Tidak
- Syair Candu 1
- Syair Candu 5
- Hijrah
- Ambil Si Penari Untukku Tariannya
- Tuhan Sudah Sangat Populer
- Ajari Aku Tidur
- Membelah Diri
- Menertawakan Diri Sendiri
- Tidur Hanya Bisa Pada Mu
Puisi Emha Ainun Najib - Emha Ainun Najib atau biasa dipanggil Cak Nun adalah seorang penyair, seniman, budayawan dan pemikir yang dituangkan melalui buku-buku yang ditulisnya. Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 sekarang berumur 65 tahun yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.
Selain menjadi seniman beliau juga seorang penulis buku yang berisi kritikan sosial dan kehidupan yang sering terjadi. Tak hanya itu Cak Nun juga seorang pendakwah yang menyebarkan nilai niai islam dari pelosok negeri hingga luar negeri. Beliau sering melakukan dakwah menyebarkan agama islam. Walaupun begitu Cak Nun tidak bersedia jika dipanggil ustad atau kyai.
Nah, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya Cak Nun. Disini saya sudah menyiapkannya secara lengkap. Berikut adalah 43 kumpulan puisi Karya Emha Ainun Najib.
Baca Juga
Sumber : Google Images |
Puisi Ke 1 : Memecah Mengutuhkan
(Emha Ainun Najib) 1987
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
Puisi Ke 2 : Doa Sehelai Daun Kering
(Emha Ainun Najib) Jakarta 11 Pebruari 1999
Janganku suaraku, ya Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu ma¨Âªshum dan aku bergelimang hawa¨Âª
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Puisi Ke 3 : Dari Bentangan Langit
(Emha Ainun Najib) Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO, 1997
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Puisi Ke 4 : Ketika Engkau Bersembahyang
(Emha Ainun Najib) 1987
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku’ lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas arasy sembilan puluh sembilan
Puisi Ke 5 : Kita Memasuki Pasar Riba
(Emha Ainun Najib) 1987
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
Puisi Ke 6 : Ikrar
(Emha Ainun Najib)Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil sikap, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Puisi Ke 7 : Kudekap Kusayang-Sayang
(Emha Ainun Najib) Yogyakarta, 1994, halaman 7 Republika, 24 Januari 1999
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
Puisi Ke 8 : Seribu Masjid Satu Jumlahnya
(Emha Ainun Najib) 1987
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya Alal Falah!
Puisi Ke 9 : Tahajjud Cintaku
(Emha Ainun Najib) 1988
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
Puisi Ke 10 : Sepenggal Puisi Caknun
(Emha Ainun Najib)
sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
Puisi Ke 11 : Ditanyakan Kepadanya
(Emha Ainun Najib) 1988
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
Puisi Ke 12 : Begitu Engkau Bersujud
(Emha Ainun Najib) 1987
Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
Puisi Ke 13 : Antara Tiga Kota
(Emha Ainun Najib) Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO, 1997
di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakarta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Puisi Ke 14 : NOCTURNO
(Emha Ainun Najib) 1975
Tuhan si anak kenangan berbaring di cakrawala selatan
Tuhan si anak kenangan berloncatan di atas bintang-bintang
Tuhan si anak kenangan berebut masuk keluar pernapasan
Tuhan si anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam
Tuhan si anak kenangan terjatuh!
: dalam bayang bayang
Selamat malam!
O, si buah angan
Selamat malam!
O, si Anak Hilang!
Puisi Ke 15 : Sajak Jatuh Cinta
(Emha Ainun Najib) 1975
Karena ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum
Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian senyap sesaat
Tuhan melintaskan syafaat
Kemudian daun-daun bersijingkat
Dalam pesona memikat
Karena ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak, dik
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Puisi Ke 16 : Lagu
(Emha Ainun Najib) 1975
Sangatlah nyaman
Serta penuh kekhusyukan
Bersahabat dengan angin
Dan matahari pagi
Wajah gadisku yang membayang
Mengajakku sejenak berpejam
Tunduk kepala, dan
Menggumamkan salam
Dan embun menguap
Setelah semalaman
bagai peristiwa cinta
Membungkus dedaunan lelap
O, biru langit!
O, bukit-bukit!
Saksikanlah bahwa merdeka
Sangatlah mengikat
Bahwa jiwa
Butuh saat-saat alpa
Di mana roh diguncang
Tercampak dari tanya dan pikiran
Gadisku! Wahai gadisku!
Sangatlah nyaman
Bersetia kasih dengan Alam
Dan di bawah Iman-Nya: kita tenggelam
Puisi Ke 17 : Sajak
(Emha Ainun Najib) 1975
Oleh: Emha Ainun Najib
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Khusus untuk memulangkan diriku
Kepada kumandang tangis bayi, yang telanjang
Yang hening lagunya bergaung
Ke ladang-ladang jiwa
Yang meripatnya bening
Dan yang semua geraknya
Dibimbing
Oleh kegaiban
Demi rembulan di larut malam
Yang bagai kereta kencana
Ditarik oleh kuda siluman
Yang bangkit dari cakrawala
Yang bangkit begitu saja
Berderap
Perlahan
Dan menciptakan gemuruh
Dalam kediaman
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Untuk mengusap kening jiwa yang berabad menangis
Jiwa Adam
Rintih kerinduan
Yang mencegatnya di ujung jalan
Dan yang mencegatku kini
Dalam derita dan keasingan
Yang terus menjelma
Yang mengawali setiap pekik kelahiran
Dan yang terus berkembang dalam kenangan
Demi rembulan yang bagai pejalan sunyi
Menjelajah seluruh malam
Sehingga terciptalah dunia dan kehidupan
Dari angin, embun dan dedaunan
Yang berkilat
Karena cahayanya
Yang seakan mengisyaratkan harapan
Bagi kerinduanku nantinya
Ah, Tuhan!
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Buat menggoda!
Di semak-semak ini
Di hutan gelap yang tercipta
Dalam gaung jiwa
Dalam gelegak samudera
Dalam gelegak darahku
Yang letih
Dan maya
kutikamkan pisau ini ke dadaku!
(terimalah semangatku reguklah cintaku!)
Puisi Ke 18 : Apakah Puisi-puisi Ini
(Emha Ainun Najib) Yogya 1977
Apakah puisi-puisi ini
Jelmaan roh-Mu, Tuhanku
Sehingga aku merasa bahagia
Jika bergaul dengannya
Ia selalu membuka ruang
Hingga aku setia pada kemungkinan
Ia adalah sembahyang
Yang penuh kemerdekaan
Tuhan, di antara sekian cara hidup
Agama dan peraturan-peraturan
Puisi memberi keikhlasan
Kepada apa pun yang Kaulakukan
Puisi Ke 19 : Prambanan
(Emha Ainun Najib) 1977
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu
Diam pada angin
Pada hujan, pada lindu
Dan langit yang semu
Apa benar hidup lebih baik
Dari yang disebut mati
Seperti lukisan air mukamu
Seperti sikap diammu
Hidup ini besar ongkosnya
Sedang kita terus berlari keras dan gila
Mengejar-ngejar apa
Tak ketemu jua
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu
Diam pada angin, langit, Tuhan ¡
Puisi Ke 20 : Didepan Patung Budha
(Emha Ainun Najib) Borobudur 1977
Kau ada
Aku pun ada
Tapi kau bahagia
Aku tidak
Apa kerna ada nyawa
Maka tak bahagia
Sedang dengan nyawa
Orang ingin bahagia
Kukira salah mulanya
Adam dilempar dari surga
Mengapa harus kembali ke sana
Mengapa tak ke Tiada
Puisi Ke 21 : Aku Ini Termasuk Orang Yang Sukar Berbahagia
(Emha Ainun Najib) Yogya 1977
Aku ini termasuk orang yang sukar berbahagia
Sebab makin banyak memandang adegan kehidupan
Makin bertumpuk pula pertanyaan kepada Tuhan
Hidup ini ruwet seperti lingkaran setan
Seperti perang brubuh yang tak bisa diuraikan
Serta penuh benturan yang seperti sengaja diciptakan
Ah, tetapi mudah saja jika Tuhan mau mengubah semuanya
Atau menghapusnya lantas menciptakan lagi dunia
Yang sedikit agak bermutu, terhormat dan mulia
Tetapi kukira itu tak mungkin terlaksana
Sebab siapa tahu Tuhan merasa asyik dengan kekonyolan kita
Dan agar tak kehilangan permainan: kita terus saja dipelihara
Puisi Ke 22 : Kosong
(Emha Ainun Najib) Salatiga 1977
Kenapakah kadang-kadang
Demikian kosong hidup ini, Tuhanku
Segala keramaian di sekelilingku
Lalu lalang pikiran dan hasrat kehidupan
Yang menggoreskan seribu warna peradaban
Segala apa pun yang dikurung langit-Mu
Segala apa pun yang di bilikku
Telapak tanganku yang tiba-tiba kuamati
Bahkan wajahku yang dipantulkan oleh cermin ini
Kurasakan amat kosong dan sunyi
Tetapi di dalam dadaku
Tetapi di dalam jiwaku
Ada bergaung suara-suara
Ada tekanan-tekanan yang asing rasanya
Seperti jeritan
Seperti teriakan dalam diam
Seperti diam dalam teriakan
Seperti dendam
Seperti kerinduan
Atau pusaran permainan
Yang tak bisa aku hindarkan
Tuhanku, apakah perasaan yang semacam ini juga
Yang mendorong-Mu untuk menciptakan manusia
Dan semesta yang fana?
Puisi Ke 23 : Takut Pada Matamu
(Emha Ainun Najib) Surabaya 1977
Kekagumanku kepada Tuhan
Membuat aku takut pada matamu
Apakah engkau sendiri mengerti, kekasihku
Apa gerangan yang memancar dari matamu itu?
Bertahun-tahun kita hanya berpandangan saja
Engkau bisu
Dan aku tuli
Karena sangat tidak mengerti
Bola matamu yang bening
Adalah ruang yang tiada terbatas
Tetapi jika pun engkau kelak menjadi wanitaku
Akan bisakah kumasuki ruang itu?
Puisi Ke 24 : Dari Bukit Kotamu
(Emha Ainun Najib) Bandung 1977
sekali waktu ingin kuajak engkau kemari, kasihku
untuk melihat lampu-lampu kotamu yang berdebu
berdiri di sini bagai berada di luar kehidupan
jika kita bergoyang-goyang ditimang tangan Tuhan
apa salahnya beberapa saat kita istirah
pasrah diri kepada kelam yang jauh
apa salahnya sejenak alpa pada luka yang dalam
dan hati yang robek di dalam pergulatan
sekali waktu ingin kuajak kau bersandar di pohon ini, kasihku
untuk menghela napas panjang, melepas keletihan
meredakan segenap dendam, meniti masa silam
dan bersiap, melayani hari-hari esok yang panjang
Puisi Ke 25 : Sajak Orang Tua Seribu
(Emha Ainun Najib) 1982
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku seribu
Yang satu ngajari sembahyang
Lainnya nyuruh edan
Yang satu ngasih kitab Qur’an
Lainnya menyodorkan minuman
Yang satu berkhotbah kebaikan
Lainnya mendorong ganggu istri orang
Lainnya lagi penuh kebajikan
Sekaligus bajingan
Langit muntah
Hujan tumpah
Mancur ke tenggorokan bumi
Membanjirkan sampah kotoran
Dari selokan dan kali-kali
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku misteri
Hiruk pikuk yang sunyi
Satu wajah
Ganti beribu kali
Ibu hamil karena Tuhan
Lahir aku tercampak di air pasang
Yang bergerak menyeret tanpa ampunan
Yeaahh!
Kini ambil putusan
Si Diam bergerak ke sebaliknya
Balikkan badan
Curi ruang di antara ruang
Sang Maha Gunung terletak sumbernya
Sampai darah kering kutatap ia!
Puisi Ke 26 : Kabut
(Emha Ainun Najib)
Selalu kaupanggil-panggil namaku
Aku mengangguk dan tersenyum kepadamu
Tapi sebenarnya kabutlah
Yang kaupanggil itu
Kauseret tubuhku, kaubawa ke perjalanan
Kau perkenalkan kepada setiap orang
Kabut pun menebal, diriku tersembunyikan
Tak kauingatkan sudah berapa topeng
Yang kautempelkan di wajahku?
Jadi engkau sendirilah ini, bukan aku
Tetangga, politik, dan persangkaan
Nafsu, idolatri, dan kepentingan
Mengepulkan debu, mengabuti sejatiku
Kita semua adalah Tuhan yang menyamar
Menyiksa diri dengan sejarah yang samar-samar
Kalau tak juga kautanggalkan topeng-topeng ini
Kepalsuan kita panggul sampai mati
Puisi Ke 27 : Diatas Crete
(Emha Ainun Najib) 1984
Jauh di atas kepulauan Crete, pesawat saya
menggerunjal, seperti sedang melewati jalanan
di kampungku yang penuh lobang dan batu-batu
Pilot pemandu hidup memberi peringatan tentang
cuaca amat buruk, hingga kami harus menegakkan
tempat duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkan
untuk berdoa
Para penumpang langsung bermuka mendung, para suami
istri dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan,
semua tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil di hadapan-Nya
sebagai pengemis-pengemis yang malang
Supaya tidak mengganggu lingkungan saya pun menunduk
khusyu, sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa lega
bagaikan menerima lotere
Terima kasih, terima kasih, Tuhan katanya Saya
tidak ingin menitipkan onggokan daging busuk ini
kepada siapa pun. Kalau Engkau berkenan, biarlah
sampah hina yang duduk cemas di kursi ini segera
saja sirna, agar saya pun merdeka!
Tapi tak lama kemudian jiwa saya itu pun ngambeg
karena segera ada pengumuman tentang yang disebut
keselamatan, dan daging-daging bau itu pun menarik
nafas lega, sambil bersiap turun, berjejal-jejal
memenuhi tong-tong sampah yang bertebaran di atas dunia
Puisi Ke 28 : Pesawat Terbang
(Emha Ainun Najib) 1984
Pertama kali naik pesawat terbang, saya ingin
memasang iklan di koran nasional bahwa saya
benar-benar sudah pernah naik burung ajaib
yang dikagumi oleh seluruh kanak-kanak
dan orang dewasa
Kali kedua pengin dishoot kamera betapa saya
memasang seat-belt segampang menelan ludah
kemudian dengan lincah menggoda stewardesses
Yang ketiga saya berpikir menelusuri dari modal siapa
gerangan pesawat mewah ini dibikin, bagaimana
modal itu diputar di meja perjudian
ekonomi politik internasional, serta membayangkan
siapa saja, yang bisa menikmatinya
Namun toh pada kali keempat saya masih saja sedikit
mengagumi otak manusia penemu daya sihir
burung-burung, meskipun kemudian bosan
dan tidur kepala berat
Sehingga tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh kali,
di samping selalu disergap oleh ratusan
pikiran murung: saya merasa pesawat terbang
tak pernah membawa saya naik ke mana-mana
Ada kemungkinan para teknolog, teknokrat serta
para pemakai mereka, gagal melihat mana bawah
yang sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya
Puisi Ke 29 : Makan dan Minum 1
(Emha Ainun Najib) 1984
Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari
orang mesti makan dan minum
Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka
bisa berak dan kencing
Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya
buang air baik besar maupun kecil
Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,
bertingkat-tingkat serta berhias-hias
Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan
kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing
Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera
mendekatlah padaku, agar tak terlalu
lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup
berak dan kencing
Puisi Ke 30 : Makan dan Minum 6
(Emha Ainun Najib) 1984
Pada mulanya, kata jiwa saya, orang pergi
berburu binatang, menombak rusa atau
memanah burung-burung
Akhirnya hewan menipis jumlahnya dan hutan
hanya dipenuhi manusia, maka orang menembak orang
orang menggusur orang,
orang menembak orang
Sesampainya di dapur, mereka bikin sate
beramai-ramai
Yang kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa
sesudah makan dan minum seratus kali
lipat dari kapasitas perutnya, para pemenggal,
penggusur dan penembak itu tidak menjadi kenyang,
melainkan justru semakin lapar
Puisi Ke 31 : Syair Maling
(Emha Ainun Najib) 1983
Perjuangan utama sebuah syair, hanyalah
Untuk tak menjadi slogan
Atau kembang plastik
Dari Tuhan lahir seorang bayi
Dituding sebagai subversi, atau dipupuk
Menjadi hostes para priyayi
Syair-syair diagung-agungkan
Hingga menjadi barang kerajinan
Yang menggelikan
Cukuplah ia kata seorang teman
Lahir dari angin
Tapi sahabat lagi mengklaim
Syair ialah berak
Berak nasib
Orang-orang terpilin
Maka kita bertengkar
Buntu dan gagap
Dari hari ke hari
Sambil membiarkan maling-maling
Puisi Ke 32 : Sesobek Buku Harian Indonesia
(Emha Ainun Najib) Yogya, 13 Maret 1982
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad
Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat.
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya
Kita yang terlalu polos dan pemaaf
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet
Ah, milik siapa tanah ini
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diseludupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapa gerangan.
Pernahkan kita sedikit saja memiliki
lebih dari sekedar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkan kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekedar ditentukan, dan ditentukan.
Puisi Ke 33 : Yogyaku
(Emha Ainun Najib) 1984
Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang
Di kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang keabadianku di antara pijar matahari dan
malaikat salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya
Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi
Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan
bercakap-cakap denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar
dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai
Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingung
dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang
oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa meraka
pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana
Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika
engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak
kan pernah bisa digadaikan atau dicuri
Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa
datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,
waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya
Puisi Ke 34 : Belajar Tidak
(Emha Ainun Najib) Yogya, 10 Juni 1982
Ajari kami
membedakan ya dan tidak
tanpa embel-embel
Tuntunlah kami
bilang ya dan bilang tidak
tanpa hitung untung
Tenaga apa bisa kami pakai
untuk bilang ya
bagi setiap ya
untuk bilang tidak
bagi setiap tidak
Apa mesti pakai sukma Tuhan
untuk bisa tahan
tuding tidak pada tidak
karena tidak
ialah tidak
Udara sarat tidak
tiap hari sibuk tidak
tetapi sebab dicekik ya
terpaksa bilang ya
Mata siapa bisa kami pinjam
untuk melihat benar kehidupan
untuk menangkap setiap murni getaran
Tangan siapa bisa kami ulurkan
untuk menggenggam air bah kenyataan
Mau nimba ke mana
Belajar kepada apa
Berguru ke siapa
Ilmukah atau batu
Anginkah atau guru
Langitkah atau suhu
Mataharikah atau waktu
Rohkah atau langit biru
Pohonkah atau buku
Gunungkah atau para biksu
Pedang-pedangkah
atau primbon masa lalu
Lautan katakah
atau Allah yang bisu
Sejuta ilmu
lupa pada yang sederhana
Hidup teramat lama
untuk tak bisa ngomong tidak
Hidup terlalu sumpeg
untuk selalu tak bilang tidak
Waktu terentang panjang
bisa tampung berjuta tidak
Irama begini sesak
untuk bilang satu saja tidak
Dinding amat tebal
Ruang terbagi-bagi
Bagian-bagian terbagi-bagi
tanpa pintu
Angin membusuk
Pikiran meracuni jiwa
Sukma tertidur
takut ngerti sampai di mana
Kata tidak menumpuk
di sel-sel penjara
di butir-butir darah
nyangkut di mata merah
Ya sering nampak sebagai tidak
Tidak sering seperti ya
Ya seakan-akan tidak
Tidak seolah-olah ya
Ada ya yang ketidak-tidakkan
Ada tidak yang keya-yaan
Ya biasa disulap jadi tidak
Tidak dianggap sebagai ya
Orang ya terpaksa bilang tidak
Orang tidak terpaksa bilang ya
Segala ya jadi kuasa
Bikin setiap tidak jadi ya
Asal kami bilang ya
Soal jadi tak ada
Tapi jika bilang tidak
Hari esok bisa binasa
Hukum jadi samar
Benar jadi omong besar
Merdeka jadi patung-patung
Kami inginkan ya yang lugas
Tidak yang tegas
Tapi siapakah guru kami?
Para guru sangat pandai
mengajarkan upaya
Pemimpin kami amat pintar
membendung segala tidak
dari mulut kami
yang dibilang pengkhianat
Beribu nilai tersedia
Namun kami hanya dipilihkan
Oleh suatu rangka dan susunan keadaan
Kami dikepung dan dikendalikan
Kiranya guru kami ialah
kata tidak itu sendiri
Tidak
Beratus-ratus tidak
Beribu-ribu tidak
Berjuta-juta tidak
Kami ucapkan
tiap pagi
siang, sore
dan malam harinya
sampai bersiap merdeka
atau gila.
Puisi Ke 35 : Syair Candu 1
(Emha Ainun Najib) 1985
kalau kamu bilang agama itu candu
dengarkan allah-lah candu hidupku
tuak cinta maha membeningkan pikiran
melempangkan yang sebenar-benarnya jalan
jika sukmaku meminumnya
badan tegak dan jiwa perkasa
menyingkir rasa takut dan kesedihan
sehingga takkan kubatalkan pemberontakan
para peminum kesejatian
sanggup keluar dari setiap barisan
yang menghardik utuhnya kemanusiaan
meski ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparan
kamu takkan tahu bau napasnya begitu merangsang
menyisihkan segala yang tampak menggiurkan
menjelaskan betapa remehnya godaan
serta apa pun saja yang seolah dan seakan-akan
kalau kamu bilang agama itu candu
kuperdengarkan allah dan tak ada yang selain itu
firmannya merasuki darah bagai arak suci
kusandang untuk menyibak zaman ini
Puisi Ke 36 : Syair Candu 5
(Emha Ainun Najib) 1985
paduka kenyataan hamba
paduka juga impian hamba
luka parah hamba memburunya
semesta rahasia
tak terhingga jumlah pintunya
sehingga realitas terus bekerja
kenyataan tak bisa distop langkahnya
sebab terangkai oleh kemungkinan
yang tak tertangkap oleh kata benda
paduka aduk mitos kenyataan
padaka tertawakan kenyataan mitos
ketika orang membeku di salah satunya
maka terimalah hamba
ikut berdenyut di jantung paduka
mengembarai hakikat yang betapa anehnya
Puisi Ke 37 : Hijrah
(Emha Ainun Najib) 1985
mimpiku pawai burung
tanpa sayap terbang ke surga
mimpiku mata rabun
nyangkut di langit hampa
insyaallah angan-angan ini
disetujui oleh para nabi
tapi jarang kuteliti
teori mereka mengolah bumi
kemudian tiba ke khomeiny
marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali
berperang brubuh di rumah sini
di wajah beberapa kawan
nama-nama itu menjelma siluman
ketika tangan mereka acungkan
terciptalah mesin percetakan
aku jatuh terjengkang
tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan
hijrah ke semesta pengembaraan
Puisi Ke 38 : Ambil Si Penari Untukku Tariannya
(Emha Ainun Najib) 1987
Dzu Walayah membawaku mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu,
namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.
Puisi Ke 39 : Tuhan Sudah Sangat Populer
(Emha Ainun Najib)1987
Satu
Tuhan sudah sangat populer
Nama-Nya dihapal luar kepala
Sehingga amat jarang ada
Orang yang sungguh-sungguh mengingat-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Seperti matahari tak pernah tak bercahaya
Sehingga hanya kadang-kadang saja
Orang menyadari ada dan peran-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Baik di kota maupun di desa
Kalau terasa tak ada, orang menanyakan-Nya
Ketika jelas, ada orang melupakan-Nya
Puisi Ke 40 : Ajari Aku Tidur
(Emha Ainun Najib) 1986
tuhan sayang ajari aku tidur
seperti dulu menemuimu di rahim ibu
sesudah lahir menjadi anak kehidupan
sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik
dan kebodohan
bisaku cuma tertidur
tertidur
tuhan sayang tak kurang-kurang engkau menghibur
tapi setiap kali badan terbujur ruhku bangkit
memekik-mekik!
hidupku jadi ngantuk, luar biasa ngantuk
tanpa pernah bisa sungguh-sungguh tidur
di siang dunia berseliweran kecemasan
orang-orang berburu prasangka
menumpuk salah paham terhadap kehidupan
memburu dugaan, bersandar pada bayangan
mengulum batu-batu akik, aku ngantuk
sungguh-sungguh ngantuk
di malam segala nina bobo yang menenggelamkan
tak mampu kubaringkan mati kecilku
ajari mati, ya tuhan sayang, ajari aku mati
nasib sejarah menggumpal di jantungku
jantung mengerjat-ngerjat
tapi tak pingsan
telah beribu kali
jantung meledak tak mati-mati
tuhan sayang, ya tuhan sayang
rinduku amat tua
dan sakit
Puisi Ke 41 : Membelah Diri
(Emha Ainun Najib) 1986
sayang, kenapa harus membelah diri
kalau sampai begini sakit
untuk menyatu kembali
merekah engkau jadi kita
jadi tuan dan hamba
panjang jarak tak terkira
sayang, o sayang
jangan bilang sekedar satu dua hari
jangan katakan hanya sebatas matahari
sebab bergulat harus sedemikian nyeri
jatuh bangun mencari
tertunda-tunda ketemu diri sendiri
Puisi Ke 42 : Menertawakan Diri Sendiri
(Emha Ainun Najib) 1985
Bermakna lebih dari segala ilmu
Ialah menertawakan diri sendiri
Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan
Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang
Padahal gua Ibunda tak di masa silam
Dan kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka laron tahu usia tak sampai semalam
Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam
Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal jelas jatah kita abadi
Puisi Ke 43 : Tidur Hanya Bisa Pada Mu
(Emha Ainun Najib) 1986
Tidur hanya bisa padaMu
Ketika larut badan tak mengada
Sudah khatam segala tangis rindu
Tinggal jiwa kusut dan sebuah lagu
Jiwa terajah luka
Bersujud sepanjang masa
Di peradaban yang sakit jiwa
Hanya bisa kupeluk guling rahasia
Tidar hanya bisa padaMu
Ya kekasih, tidur hanya bisa padaMu
Kalau tak kau eluskan tangan
Bangunku tetap jua ke dunia
Sejak semula telah kuikrarkan
Cuma engkau sajalah yang kudambakan
Dengan sangat kumohonkan tidur abadi
Agar kumasuki bangun yang sejati
Sumber : Penyair Terkenal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar