Daftar Isi (Sembunyikan)
NB : Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi
NB : Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi
- Kembalikan Indonesia Padaku
- Mencari Sebuah Mesjid
- Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
- Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
- Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka
- 06:30
- Benteng
- Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal
- Malam Sabtu
- Rendez - C Vous
- Bendera Laskar
- Dengan Puisi, Aku
- La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini
- Silhuet
- Bukit Biru, Bukit Kelu
- Persetujuan
- Bagaimana Kalau
- Dari Catatan Seorang Demonstran
- Refleksi Seorang Pejuang Tua
- Oda Bagi Seorang Sopir Truk
- Takut 66, Takut 98
- Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis
- Ketika Burung Merpati Sore Melayang
- Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang
- Syair Empat Kartu Di Tangan
- Bayi Lahir Bulan Mei 1998
- Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu
- Doa
- Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang
- Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf
- Adakah Suara Cemara
- Kopi Menyiram Hutan
Puisi Taufik Ismail - Taufiq Ismail adalah seorang penyair dan sastrawan asal Indonesia bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935, sekarang berumur 83 tahun. Beliau sudah banyak mendapat penghargaan dari karya sastranya, salah satu karya Taufiq Ismail yang paling terkenal adalah puisi berjudul Malu (Aku) jadi Orang Indonesia.
Karya - karya beliau sangat luar biasa, setiap baitnya mempunyai makna yang dalam dan banyak karyanya yang memberikan motivasi bagi generasi muda untuk selalu memperjuangkan kehidupan berbangsa untuk memajukan bangsa ini menjadi lebih baik.
Nah, bagi kalian yang sedang mencari karya puisi beliau. Saya sudah menyiapkan puisi karya Taufiq Ismail secara lengkap. Berikut adalah 33 puisi karya beliau yang terkenal.
Baca Juga
Sumber : Google Images |
Puisi 1 : Kembalikan Indonesia Padaku
(Taufiq Ismail) Paris, 1971
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan Indonesia padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan Indonesia padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan Indonesia padaku
Puisi 2 : Mencari Sebuah Mesjid
(Taufiq Ismail) Jeddah, 30 Januari 1988
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
Puisi 3 : Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya
(Taufik Ismail) 1966
Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutani
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
Hidup pak rambutan sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
Doakan perjuangan kami, pak,
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
Puisi 4 : Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(Taufik Ismail) 1998
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Puisi 5 : Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
(Taufik Ismail) 1966
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
Duli Tuanku ?¡
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
Puisi 6 : Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka
(Taufik Ismail) 1965
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
Puisi 7 : 06:30
(Taufik Ismail) 1965
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi
(Arloji Castell)
Tertulis begini : Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga. Di istana
Arloji Castell
Berkata pada setiap yang lewat
Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡.
Puisi 8 : Benteng
(Taufik Ismail) 1966
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tldak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
Puisi 9 : Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal
(Taufik Ismail) 1966
Pengkhianatan itu telah terjadi
Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lalim
Ada ruang sidang dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la
di sana tak ada kepala
tapi hu hu hu
tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Generasi yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak¡
Ruang sidang dalam istana
La la la
tempolong ludah tak berkepala
Hu hu hu
keranjang sampah di atas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang
Melayang layang.
Puisi 10 : Malam Sabtu
(Taufik Ismail) 1966
Berjagalah terus
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta
Rakyat yang resah dan menanti
Mereka telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
Puisi 11 : Rendez - C Vous
(Taufik Ismail) 1966
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,¡
Katanya
Tapi amat heran
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.¡
Klni kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
Puisi 12 : Bendera Laskar
(Taufik Ismail) 1966
Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah rnanusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
Puisi 13 : Dengan Puisi, Aku
(Taufik Ismail) 1966
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Puisi 14 : La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini
(Taufik Ismail) 1966
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
Hidup kakak-kakak kami!¡
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
Puisi 15 : Silhuet
(Taufik Ismail) 1965
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. KIta tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
Puisi 16 : Bukit Biru, Bukit Kelu
(Taufik Ismail) 1965
Adalah hujan dalam kabut yang ungu
Turun sepanjang gunung dan bukit biru
Ketika kota cahay dan di mana bertemu
Awan putih yang menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku
Puisi 17 : Persetujuan
(Taufik Ismail) 1966
Momentum telah dicapai. Kita
Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini engkau di muka
Puisi 18 : Bagaimana Kalau
(Taufik Ismail) 1966
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Puisi 19 : Dari Catatan Seorang Demonstran
(Taufik Ismail) Yayasan Ananda, Jakarta, 1993
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan
Puisi 20 : Refleksi Seorang Pejuang Tua
(Taufik Ismail) 1966
Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan
Setelah mereka menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa mulallah melangkah
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan
Danberseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai dari sunyi
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu.
Puisi 21 : Oda Bagi Seorang Sopir Truk
(Taufik Ismail) 1966
Sebuah truk lama
Dengan supir bersahaja
Telah beruban dan agak bungkuk
Di atas stimya tertidur
Di tepi jalan yang sepi
Di suatu senja musim ini
Dalam tidumya ia bermimpi
Jalanan telah rata. Ditempuhnya
Dengan sebuah truk baru
Dengan klakson yang bisa berlagu
Dan di sepanjang jalanan
Beribu anak-anak demonstran
Tersenyum padanya, mengelu-elukan
Hiduplah bapak supir yang tua
Yang dulu berjuang bersama kami
Selama demonstrasi
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Ketika udara panas, di suatu senja
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua
Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk.
Puisi 22 : Takut 66, Takut 98
(Taufik Ismail) 1998
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut “66, takut “98
Puisi 23 : Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis
(Taufik Ismail) 1998
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
Puisi 24 : Ketika Burung Merpati Sore Melayang
(Taufik Ismail)
Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Kukenangkan tahun 1947 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei 1998 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Puisi 25 : Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang
(Taufik Ismail) 1998
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,
Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah.
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,
Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,
Gelombang mau datang, datanglah gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,¡
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,
Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,
Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,
Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,
Go, go, go, ale ale ale¡
Puisi 26 : Syair Empat Kartu Di Tangan
(Taufik Ismail) 1988
Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku
memang keserakahan.
Puisi 27 : Bayi Lahir Bulan Mei 1998
(Taufik Ismail) 1988
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
Puisi 28 : Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu
(Taufik Ismail) 1998
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Puisi 29 : Doa
(Taufik Ismail) 1966
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga
Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin.
Puisi 30 : Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang
(Taufik Ismail)
Sebuah orde tenggelam
sebuah orde timbul
tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat
Yang selalu terapung di atas gelombang
Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah
Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,
Honda metalik, dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika
Anak-anaknya ¡.
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,
lima biro iklan, dan empat pusat belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah!
dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Di mana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi
Isinya masing-masing:
Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,
dan tiga bungkus mie cepat jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri:
Yaaa¡ masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan¡ tidak jadi diperiksa
Kakayaan¡ mau diperiksa
Kekayaan¡ tidak jadi diperiksa
Kekayaan¡ mau diperiksa
Kekayaan¡ tidak jadi diperiksa
Kekayaan¡ harus diperiksa
Kekayaan¡ tidak jadi diperiksa
Puisi 31 : Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf
(Taufik Ismail) Cape Town, 26 April 1993.
Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama
Tuan Yusuf,
dan memandang bekas tumpak bumi
yang pernah menating jenazahnya.
Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,
pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,
tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna.
Di situ empat orang terbujur
mungkin ulama, mungkin komandan pasukan
Tuan Yusuf,
mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten.
Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam
menunjuk cakrawala langit Afrika.
Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat
jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan.
Dengar angin bertiup di Faure waktu itu
mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman
di tanjung paling ujung
mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan.
Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan
mengitari teluk bermerahan
yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti.
Dapatkah kita membayangkan
Tuan Yusuf
seorang sufi yang cendekia
zikir membalut tubuhnya karangan mengalir
melalui kalam terbuat dari sembilu bambu
dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku
dalam tiga bahasa
Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani
tersusun dalam peti
berlayar lebih 10.000 kilometer lewat dua samudera
suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar
di pesisir Celebes buang jangkar
lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat
ke dalam bumi Lakiung dekat tempat
ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya.
Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu
ya Syekh
karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini
tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah
dalam potret cat akrilik lima warna
namun kubayangkan sajalah kira-kira
wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam,
bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing
berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu.
Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan.
Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur
dan manajer-manajer maskapai dagang VOC
yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu
mereka kagum pada Tuan.
Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,
lalu 10.000 kilometer ke benua ini
karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas
disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi
begitu kubaca catatan mereka.
Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh?
Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,
lepas meluncur cepat dari Gunung Meja
yang memandang dua samudera.
Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata
kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu
Syekh Yusuf
telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu.
Aku mendengar zikir mengalir
lewat sembilan burung camar
yang sayapnya seperti berombak menyanyi.
Puisi 32 : Adakah Suara Cemara
(Taufik Ismail) 1973
buat Ati
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik dedaunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu
Puisi 33 : Kopi Menyiram Hutan
(Taufik Ismail) 1988
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri penataan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
Sumber : Penyair Terkenal
Sumber : Penyair Terkenal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar