Latest News

Selasa, 24 Juli 2018

31+ Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono


Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono
Puisi Sapardi Djoko Damono - Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga terkemuka asal Indonesia yang lahir di Surakarta pada tahun 20 Maret 1940. Beliau dikenal melalui karya sastra puisinya yang penuh makna kehidupan. Sehingga banyak puisinya terkenal dikalangan sastrawan maupun dikalangan umum.
Sumber : Google Images

Nah, Bagi kalian yang sedang mencari puisi karya beliau. Saya sudah menyiapkan 31 kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono lengkap. Berikut dibawah ini adalah puisi lengkapnya.


Puisi Ke 1 : Kita Saksikan
(Supardi Djoko Damono)

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

Puisi Ke 2 : Sajak Putih
(Supardi Djoko Damono)

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca

Puisi Ke 3 : Dua Sajak Dibawah Satu Nama
(Supardi Djoko Damono)

I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan segala atas namamu: Kesunyian

Puisi Ke 4 : Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
(Supardi Djoko Damono)

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu) itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

Puisi Ke 5 : Gerimis Jatuh
(Supardi Djoko Damono)
Kepada: Arifin C. Noer

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana

tak usah kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu

Puisi Ke 6 : Lanskap
(Supardi Djoko Damono)

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja

Puisi Ke 7 : Telor
(Supardi Djoko Damono)

Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan
melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang
kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi.
Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.

Puisi Ke 8 : Taman Jepang, Honolulu
(Supardi Djoko Damono)

inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:
jalan setapak yang berbelit, matahari
yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap jawaban tertunda

Puisi Ke 9 : Percakapan Malam Hujan
(Supardi Djoko Damono)

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung
berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam

Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
desah asalmu dari laut, langit, dan bumi kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang

Puisi Ke 10 : Narsisus
(Supardi Djoko Damono)

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskan aku kalau nanti air hening kembali
cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi

Puisi Ke 11 : Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
(Supardi Djoko Damono)

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan

Puisi Ke 12 : Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago
(Supardi Djoko Damono)

Siapakah namamu? barangkali aku setengah tertidur waktu
kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,
beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:
siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,
bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku,
sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa
sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang
pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar
anak-anak bernyanyi  tetapi manakah yang lebih deras
denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa
menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan
sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita
namakan apa-apa kau pun sibuk mengulang-ulang per-
tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter- jaga.

Puisi Ke 13 : Mata Pisau
(Supardi Djoko Damono)

mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

Puisi Ke 14 : Ketika Berhenti Disini
(Supardi Djoko Damono)

ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun

Puisi Ke 15 : Hujan Dalam Komposisi, 1
(Supardi Djoko Damono)

Apakah yang kautangkap dari swara hujan,
dari daun-daun bugenvil basah yang teratur
mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap
dari bau tanah, dari ricik air
yang turun di selokan?

Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah
dan hujan, membayangkan rahasia daun basah
serta ketukan yang berulang.

Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri
yang di balik pintu memimpikan ketukan itu,
memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan
bisik yang membersit dari titik air
menggelincir dari daun dekat jendela itu.
Atau memimpikan semacam suku kata
yang akan mengantarmu tidur

Barangkali sudah terlalu sering ia
mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.

Puisi Ke 16 : Hujan Dalam Komposisi, 2
(Supardi Djoko Damono)

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula
ia di udara tinggi, ringan dan bebas lalu
mengkristal dalam dingin kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi dan menimpa
pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
rumah, dan kembali ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di
jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge-
lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,
menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di
lautan. Selamat malam.

Puisi Ke 17 : Hujan Dalam Komposisi, 3
(Supardi Djoko Damono)

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya:
terpisah dari hujan

Puisi Ke 18 : Pohon Belimbing
(Supardi Djoko Damono)

Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.

Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?

Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
belimbing wuluh Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?

Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?

Puisi Ke 19 : Tentang Tuhan
(Supardi Djoko Damono)

Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
bersabda, Hari baru lagi! Ia senantiasa berkeliling merawat
segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa
memperhitungkan hari.

Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
sama sekali.

Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak
kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

Puisi Ke 20 : Sonet, Entah Sejak Kapan
(Supardi Djoko Damono)

Entah sejak kapan kita suka gugup
Di antara frasa-frasa pongah
Di kain rentang yang berlubang-lubang
Sepanjang jalan raya itu kita berhimpitan
Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
Di kain rentang yang ditiup angin,
Yang diikat di antara batang pohon
Dan tiang listrik itu kita tergencet di sela-sela
Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
Rupanya kita suka membayangkan diri kita
Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya
Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

Puisi Ke 21 : Puisi Cat Air Untuk Rizki
(Supardi Djoko Damono)

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, jangan berisik, mengganggu .
hujan!
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, lepaskan daun itu!

Puisi Ke 22 : Sonet 4
(Supardi Djoko Damono)

Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup.
Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.

Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar
kita pun diam-diam mendengarkannya,
Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.

Puisi Ke 23 : Sonet 6
(Supardi Djoko Damono)

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsumku tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

Puisi Ke 24 : Sonet 14
(Supardi Djoko Damono)

Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.

Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara

malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu

bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?

Puisi Ke 25 : Sudah Lama Aku Belajar
(Supardi Djoko Damono)

(1)
sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu.
(2)
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.
(3)
Kalau pada suatu hari nanti
kau mengetuk pintu
tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.

Puisi Ke 26 : Kenangan
(Supardi Djoko Damono)

(1)
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang
(2)
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci
(3)
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

Puisi Ke 27 : Tukang Kebun
(Supardi Djoko Damono)

Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?

Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, Ke sana, ke samudra raya!
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.

Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.

Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.

Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.

Puisi Ke 28 : Pada Suatu Magrib
(Supardi Djoko Damono)

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip

Puisi Ke 29 : Tentu. Kau Boleh
(Supardi Djoko Damono)

Tentu. Kau boleh saja masuk
masih ada ruang
di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
angin tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.

Puisi Ke 30 : Pertanyaan Kerikil Yang Goblok
(Supardi Djoko Damono)

Kenapa aku berada di sini?
tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja
dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,
merontokkan beberapa lembar daun mangga,
menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,
dan sejenak membuat lengkungan yang indah
di udara, lalu jatuh di jalan raya
tepat ketika ada truk lewat di sana.
Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban
dan malah bertanya kenapa
ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana,
ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,
Mengganggu saja!

Puisi Ke 31 : Ayat-Ayat Tokyo
(Supardi Djoko Damono)

(1)
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura
ada yang diam-diam membacanya
(2)
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu
kita bergegas, katanya
(3)
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
(4)
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu
(5)
lengking sakura
tapi angin tuli
dan langit buta
(6)
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam
angin musim semi

Sumber : Penyair Terkenal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post